Halaman

Sabtu, 08 Juni 2019

KEMITRAAN KEPOLISIAN DALAM MASYARAKAT PERKOTAAN




 PENDAHULUAN 
       Rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Tentu kebutuhan akan rasa aman adalah hal yang fundamental dan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh golongan masyarakat baik umur, agama, atau pekerjaan. Saat ini hampir 70% penduduk didunia tinggal di wilayah perkotaan, dan tindakan kriminal adalah masalah yang cukup kompleks yang harus dihadapai masyarakat perkotaan. Setiap manusia pasti mendambakan kehidupan yang damai dan aman dilingkungan tempat mereka tinggal, khususnya diperkotaan. Lingkungan Perkotaan yang bebas dari kejahatan dan tindak kriminal tentu dapat membuat masyarakat memiliki kualitas hidup yang baik karena masyarakat akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan berbagai macam aktifitas untuk menunjang kehidupannya. Kejahatan dan tindak kriminal adalah masalah yang mempengaruhi aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat dibanyak negara. Bahkan menurut World Bank, negara Amerika Latin dan Caribbean masih dibelenggu oleh permasalahan kejahatan dan kriminalitas yang ternyata banyak terjadi di banyak kota-kota miskin (The World Bank, 2008).
       Sesungguhnya kejahatan adalah suatu hal yang normal di dalam masyarakat. Artinya, masyarakat tidak akan mungkin dapat terlepas dari tindak kejahatan karena kejahatan itu sendiri terus berkembang sesuai dengan kedinamisan masyarakat (Wolfgang, Savizt dan Johson, 1970). Hal ini dapat dibahami bahwa kecenderungan manusia untuk terus mencari sesuatu yang baru untuk mencegah masalah yang terjadi sebelumnya, atau untuk mencegah suatu masalah sebelum itu terjadi. Dalam menghadapi kejahatan, manusia meningkatkan suatu sistem pengamanan, seharusnya. Namun demikian, pelaku kejahatan juga akan terus belajar dan mengembangkan teknik dan modus agar dapat melumpuhkan sistem pengamanan yang ada.
        Kejahatan yang terjadi di Indonesia diketahui disumbangkan hingga 80 % oleh wilayah perkotaan sehingga  merupakan tugas bagi negara-pemerintah (institusi keamanan) yakni POLRI dan juga masyarakat perkotaan itu sendiri untuk memerangi kejahatan demi mendapatkan tempat yang lebih baik untuk berkehidupan. Berdasarkan pemaparan Kapolri, Jendral Polisi Tito Karnavian mengatakan jumlah kejahatan tahun 2017 menurun 23 persen dibanding tahun sebelumnya. Polri mengategorikan kasus kejahatan menjadi empat golongan, yakni kejahatan konvensional, transnasional, kekayaan negara, dan implikasi kontijensi dan jumlah kejahatan pada 2017 berada di angka 291.748 kasus dimana jumlah ini menurun ketimbang tahun sebelumnya yakni 380.826 kasus. Walaupun mengalami penurunan yang cukup baik tetapi untuk pelaksanaan penurunan jumlah tindak kejahatan di Indonesia oleh pihak Polisi memerlukan usaha yang cukup besar dan kerjasama antar polisi dan masyarakat. Namun ekspetasi dan realitas yang diharapkan sungguh berbeda dikarenakan kurangnya partisipasi dan kerjasama masyarakat dalam membantu fungsi polisi dalam usaha menurunkan angka kriminalitas perkotaan. Atas uraian diatas maka hal ini sangat menarik untuk menguraikan problematika aspek hukum yuridis dan kriminologis mengenai hambatan bermitra dengan masyarakat dalam Mengatasi Kriminalitas Perkotaan.  

PEMBAHASAN
 1.  Gambaran Umum Masyarakat Perkotaan
       Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community, adalah masyarakat yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Pengertian kota sendiri adalah suatu himpunan penduduk masalah yang tidak agraris, yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu kegiatan ekonomi, pemerintah, kesenian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Kota merupakan suatu daerah yang memiliki ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan daerah desa , seperti pemusatan jumlah penduduk , pusat pemerintahan dan sarana dan prasarana penunjang aktivitas manusia yang relatif lebih lengkap di bandingkan dengan daerah desa. Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain.
         Tingkah laku masyarakat perkotaan bergerak sangat maju yang mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima yang baru atau membuang sesuatu yang lama, lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru. Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat memberikan sesuatu perasaan harga diri yang lebih tinggi, jauh berbeda dengan seni budaya dalam masyarakat desa yang bersifat statis. Derajat kehidupan masyarakt kota beragam dengan corak sendiri-sendiri. Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoisme dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang mana menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.

2. Identifikasi Kriminalitas Masyarakat Perkotaan
         Dalam mencari sebab musabab perkembangan kriminalitas di daerah perkotaan perlu diperhatikan adanya kenisbian faktor kriminogen di berbagai macam kota. Faktor kriminogen, fenomena tertentu, di kota tertentu, tidak selalu merupakan faktor kriminogen di kota yang lain. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, taman-taman yang luas, jumlah tenaga kepolisian, banyaknya tempat yang gelap/kurang penerangan lampu, dan sebagainya.Faktor-faktor fenomena yang berhubungan dengan kesempatan terjadinya kriminalitas merupakan yang dapat berupa persiapan, pembiaran, pendorong atau pendukung adanya suatu tindakan kriminal yang mempunyai perwujudan yang bermacam-macam. Masalah ini antara lain mempunyai aspek-aspek sosial, ekonomi, yuridis, religius dan politis.
        Kriminalitas tiap kota berbeda –beda tingkat kerawanannya dan jenis-jenis tindak pidana yang dilakukan hal ini bergantung dengan adat atau kesibukan rutinitas masyarakat, ketidak acuhan antar sesama dan yang paling mempengaruhi adalah factor pendidikan yang rendah. Kesenjangan keserataan tingkat pendidikan di perkotaan yang mengikuti modrenisasi/ globalisasi sangat terlihat jelas sehingga menjadi cikal bakal ketidakmampuan yang berujung kriminalitas. Contohnya Tindakan kejahatan pencurian merupakan salah satu kejahatan yang sering dilakukan akibat dari rendahnya pendidikan tersebut, terutama pendidikan formal.Pada umumnya mereka tidak mampu berfikir panjang, sehingga secara spekulatif mereka tidakakan segan-segan melakukan kejahatan pencurian.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada kecenderungan orang yang berpendidikan rendah lebih mudah terdorong untuk melakukan kejahatan dalam setiap upaya memenuhi kebutuhan/kepentingannya. Hari Saturodji yang dikutip oleh AbdulSyani dalam bukunya Sosiologi Kriminalitas (1989) yang menyatakan bahwa: “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan ada dua yaitu faktor dari luar diri individu dan faktor dari dalam diri individu.Faktor dari dalam diri individu ini termasuk didalamnya pendidikan individu, Sedangkan Faktor dari luar diri termasuk di dalamnya lingkungan tempat tinggal dan ekonominya, karena hal ini mempengaruhi tingkah laku terutama intelegensinya.”
       Tak hanya itu, permasalahan kriminalitas masyarakat kota umumnya telah ditanggulangi oleh pihak Kepolisian tetapi factor sikap dan ketidakacuhan antar masyarakat yang membuat sulitnya pihak lembaga keamanan untuk mempertahankan situasi kondisi serta pelayanan pengamanan yang diinginkan ataupun yang keadaan aman yang sudah dibangun sebelumnya. Ada juga masyarakat yang tak mau melaporkan setiap tindak criminal yang terjadi pada pihak yang berwajib sehingga para pelaku kriminalitas di perkotaan merasa mendapat lampu hijau untuk criminal di tempat tersebut. Dapat diambil sampel pada suatu kota, contohnya Kota Surabaya yang dilansir terdapat 879 kriminalitas tiap bulannya tetapi pihak kepolisian hanya mendapat sekitar 460 laporan polisi tiap bulannya yakni hanya kisaran 65 % laporan polisi diselesaikan.

3. Kerjasama Polisi  Menanggulangi Masalah Kriminalitas Perkotaan
a.  Dengan TNI
Kondisi gangguan Kamtibmas dan Kamdagri didaerah dikaitkan dengan keterbatasan dari Kesatuan, mengharuskan untuk meminta bantuan baik dari kesatuan atas maupun kesatuan samping yaitu unsur TNI. Namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal dikarenakan masih terkendala oleh hal sebagai berikut :
1)        Belum adanya SOP bersama dalam langkah pencegahan kejahatan .
2)        Komunikasi tersumbat antar aparat TNI dengan Polri; lemahnya komunikasi antara      aparat tersebut menyebabkan lemahnya pencegahan kejahatan.
b.  Dengan Pemda
Kerjasama dengan Pemda belum dirasakan optimal hal tersebut dikarenakan belum Pemda belum sepenuhnya dapat memberikan dukungan anggaran yang merupakan salah satu unsur utama dalam pencegahan kejahatan / menyangkut masalah kamtibmas. Karena kebanyakan pejabat Pemda memiliki pemahaman bahwa masalah Kamtibmas adalah urusan kepolisian. Kemudian Polri belum sepenuhnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan terkait dengan pemeliharaan kamtibmas.
c.  Dengan Masyarakat
Untuk melihat bagaimana kondisi kerjasama dengan masyarakat dalam pencegahan kejahatan, sebagai contoh dapat dilihat dari data Pokdar (Kelompok Sadar) Kamtibmas di Polres Metro Jakarta Barat yang masih aktif yaitu 2.960 orang, sedangkan di Polres Bogor data Pokdar Kamtibmas yang masih aktif 150 orang. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :
1)    Melaporkan situasi Kamtibmas di wilayah masing-masing baik rutin maupun insidentil.
2)     Bersama anggota Bhabinkamtibmas mengidentifikasi masalah yang ada dilingkungan masing-masing.
3)    Menganalisa dan melakukan langkah-langkah pemecahan
        Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk maka di Polres Metro Jakarta Barat hanya 0,10% dari jumlah penduduk 2,8 juta dan di Polres Bogor hanya 0,003% saja dari jumlah penduduk sebanyak 4,4 juta. Dengan melihat jumlah Pokdar tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kerjasama yang dilakukan dengan masyarakat masih belum optimal, hal tersebut dikarenakan minimnya partisipasi masyarakat untuk tergabung kedalam Pokdar Kamtibmas.
4. Kendala Kemitraan Polisi Dalam Mengatasi Kriminalitas Perkotaan
           Dalam menanggulangi sebuah kejahatan yang terjadi didalam masyarakat tidaklah mudah selain banyak faktor-faktor penyebab kejahtan itu terjadi. Kendala dalam organisasi Polisi dalam membina kemitraan antar masyarakat dan polisi menangulangi kriminalitas perkotaan yakni :

a.    Ketidak percayaan masyarakat kepada anggota Polisi dengan minset negatif terhadap Polisi, contohnya:
         Masyarakat menganggap Tugas-tugas yang dilakukan Polisi dianggap semuanya rahasia sehingga kurang transparan dan cenderung eksklusif (Memisahkan atau ada jarak dengan masyarakat ).
         Menganggap tugas polisi yang utama adalah penegakan hukum atau menangkap penjahat, sehingga tugas-tugas preventif atau preemtif kepolisian kurang populer diantara para petugas polisi (Orientasi para anggotanya belum sepenuhnya pada orientasi kerja dan orientasi gaji tetapi pada jabatan atau posisi tertentu yang dianggap basah)
b.    Sikap ketidakacuhan dan mementingkan kepentingan sendiri atau rutinitas pribadi yang sudah mendarah daging di masyarakat perkotaan sehingga untuk mengungkapkan pelaku kriminalitas sangat susah karena kurangnya saksi dari masyarakat yang berkorban waktu untuk memberikan keterangan atau tenaga untuk bekerjasama dengan Polri
c.    Anggapan masyarakat mengenai suatu tindak criminal tersebut adalah hal biasa di daerah perkotaan dan pemikiran ketidakmungkinan atau tidak optimis untuk ikut berkerjasama menangulangi masalah kriminalitas di Perkotaan.
d.   Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai program-program polisi dan pemerintah dalam aksi anti kriminalitas

5. Upaya Polri Dalam Membangun Kerjasama Masyarakat Perkotaan untuk Menanggulangi Kriminalitas Kota
a. Minimnya Tingkat Kriminalitas dan Gangguan Kamtibmas
        Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri akan ditandai dengan menurunnya kasus-kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas ditengah masyarakat. Kondisi ini akan ditandai dengan menurun atau minimnya angka kriminalitas yang tercatat di kantor kepolisian setempat. Hal ini juga menandakan adanya peningkatan kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk melaporkan berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas kepada aparat kepolisian setempat.
b.  Minimnya Keluhan Masyarakat
         Indikator keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri juga ditandai dengan semakin menurun atau minimnya tingkat keluhan masyarakat terhadap pelayanan kamtibmas Polri. Kondisi ini ditandai dengan sedikit atau tidak adanya anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan atas berbagai pelayanan kamtibmas yang diberikan Polri. Hal ini dapat diketahui melalui survey pelayanan publik Polri, laporan yang diterima Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Ombudsman atau berbagai informasi yang ada di media massa.
c.  Meningkatnya Kepuasan Masyarakat
        Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri juga ditandai dengan meningkatnya kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri. Meningkatnya kepuasan masyarakat tersebut dapat diketahui dari meningkatnya indeks kepuasan masyarakat dari hasil survey pelayanan Polri. Meningkatnya kepuasan masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya dukungan masyarakat atas Polri dan minimnya tingkat keluhan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri.
d.  Meningkatnya Partisipasi Masyarakat
       Menurun atau minimnya tingkat kejahatan dan gangguan kamtibmas juga menunjukkan bahwa masyarakan ikut berperan serta dalam memelihara situasi kamtibmas melalui berbagai laporan atau pengaduan atas berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat ikut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan dengan senantiasa memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas) dilingkungan sosialnya. Meningkatnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam harkamtibmas juga menunjukkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri dan keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan masyarakat dan stakeholders.
e.  Kebijakan dan Strategi Pencegahan Kejahatan
     Salah satu prasarat berjalannya proses pembangunan nasional adalah terpeliharanya situasi keamanan dalam negeri (kamdagri) yang kondusif. Untuk terselenggaranya pembangunan nasional tersebut, Polri sebagai alat negara dibidang keamanan memiliki peran dan tanggungjawab memelihara kamdagri. Hal ini sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 5, “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Dalam rangka pelaksanaan tugas dibidang keamanan dalam negeri tersebut, selain menggunakan pendekatan represif (penindakan), Polri juga harus menekankan pada pendekatan preventif dan pre-emtif (pencegahan) sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 14 Ayat (1), yakni membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan terhadap bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
     Salah satu bentuk pendekatan pre-emtif dalam pencegahan kejahatan (crime prevention) dilakukan melalui pola kemitraan Polri dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait (stakeholders). Kemitraan Polri dengan masyarakat dan stakeholders dibutuhkan karena masyarakat setempat yang paling mengetahui dan merasakan berbagai persoalan kamtibmas dilingkungannya. Untuk itu, perlu adanya sinergi antara Polri dengan masyarakat dan stakeholders dalam memecahkan akar persoalan kejahatan. Keberhasilan sinergi Polri dengan masyarakat dan stakeholders dalam memecahkan persoalan kamtibmas akan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, sehingga proses pembangunan nasional dapat terselenggara dengan baik dan lancar.

 PENUTUP
1. Kesimpulan
      Daerah perkotaan kriminalitas berkembang terus sejalan dengan bertambahnya penduduk, pembangunan, modernisasi dan urbanisasi. Sehingga dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai dengan perkembangan kualitas dan kuantitas kriminalitas. Akibatnya perkembangan keadaan ini menimbulkan keresahan masyarakat dan pemerintah di kota tersebut. Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat dihindari dan memang selalu ada. Sehingga wajar bila menimbulkan keresahan, karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan penduduk daerah perkotaan serta lingkungannya. Sehubungan dengan keadaan ini penduduk dan pemerintah dan apparat keamanan contohnya POLRI membuat reaksi untuk memberantas masalah kriminalitas yakni dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menganggulamgi maslaah kriminKEMITRAAN KEPOLISIAN DI Malitas yang kerap terjadi.
     Namun dalam pelaksanaannya ekspetasi dan realita sangan berbanding jauh dikarenakan factor masyarakat perkotaan yang sulit untuk bekerjasama dengan Polri dalam menanggulangi permasalahan kriminalitas di perkotaan. Siikap, gobalisasi serta rutinitas masyarakat perkotaan merupakan factor yang menunjang terhambatnya kegiatan kemitraan penanggulangan kriminalitas di Perkotaan.
2. Saran
1. Diharapkan pihak polisi lebih menumbuhkan minat dan aktifitas persuasive untuk     menumbuh kembangkan keinginikutsertaan warga dalam mengatasi Kriminalitas di    Perkotaan.
2. Diharapkan masyarakat untuk menyadari pentingnya membangun kemitraan dengan pemerintah dan apparat keamanan yakni Polri dalam menangani permasalahan Kriminalitas di Perkotaan agar terwujudnya situasi, kamtibmas dan keamanan di lingkungan kehidupan masyarakat Kota.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)


Hasil gambar untuk KEKERASAN PEREMPUAN
PENDAHULUAN          
       Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 – 358. Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
        Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.                   Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. 
        Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum sangat diperlukan, khususnya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
          Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
1.    UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya.
2.    UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3.    UU 1/1974 tentang Perkawinan.
4.    UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
5.    UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
       Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
1. Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
          Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
  • .Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan  atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
  •  Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
  •  Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
  • Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
         Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
           Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
          Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu: “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Gejala-Gejala Kekerasan Dalam Rumah Tangga
     Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.

3. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :
a.    Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
b.    Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c.    Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

d.    Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
e.    Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut

           Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.

4. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
a.     Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
      Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
b.    Ketergantungan ekonomi.
       Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
c.    Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
        Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
           Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
1.    Belum siap kawin.
2.    Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3.    Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
       Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
d. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum

Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

5.  Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
     Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
a.    Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
b.    Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
c.    Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
d.    Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.

       Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
       Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
  •         Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
  •       Tidak perlu menghormati perempuan.
  •       Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
  •        Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja

         Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:
  •           Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
  •       Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
  •       Merasa disia-siakan oleh orang tua.

       Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% – 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.

6. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan (Fisik)  Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga
a.    Menurut Hukum Pidana
      Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.
         Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
        Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
         Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
        Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
       Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
       Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16

Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.

Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
b.    Menurut UU No. 23 Tahun 2004
      Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1.    Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).

2.    Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
     -  Penghormatan hak asasi manusia
     -  Keadilan dan kesetaraan jender
     -  Anti diskriminasi, dan
      - Perlindungan korban
       
      Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
  • Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
  • Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
  • Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
  • Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
3.   Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
4.    Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
- Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
-  Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
-  Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
-  Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan. Pelayanan bimbingan rohani.
5.    Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
A.   Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
B.   Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
c.    Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
      D.   Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
        Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
     a.    Mencegah berlangsungnya tindak pidana
     b.    Memberikan perlindungan kepada korban
     c.    Memberikan pertolongan darurat, dan
     d.    Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait

 6. Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
7. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
A.   Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
B.   Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
8. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
a.   Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
b.   Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
       c.  Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
      d.  Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-

9.   Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).

7. Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
         Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi.
         Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
a.    Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
b.    Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
c.    Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
d.    Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
e.    Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
f.    Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.

 Kesimpulan
     KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan secara dini.  Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah  untuk saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk  terus menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara  baik dan jauh dari KDRT.  Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”.  Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,  perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
Saran
     Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.