PENDAHULUAN
Rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia,
disamping kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Tentu kebutuhan akan rasa aman
adalah hal yang fundamental dan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi bagi
seluruh golongan masyarakat baik umur, agama, atau pekerjaan. Saat ini hampir
70% penduduk didunia tinggal di wilayah perkotaan, dan tindakan kriminal adalah
masalah yang cukup kompleks yang harus dihadapai masyarakat perkotaan. Setiap
manusia pasti mendambakan kehidupan yang damai dan aman dilingkungan tempat
mereka tinggal, khususnya diperkotaan. Lingkungan Perkotaan yang bebas dari
kejahatan dan tindak kriminal tentu dapat membuat masyarakat memiliki kualitas
hidup yang baik karena masyarakat akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan
berbagai macam aktifitas untuk menunjang kehidupannya. Kejahatan dan tindak
kriminal adalah masalah yang mempengaruhi aktifitas sosial dan ekonomi
masyarakat dibanyak negara. Bahkan menurut World Bank, negara Amerika Latin dan
Caribbean masih dibelenggu oleh permasalahan kejahatan dan kriminalitas yang
ternyata banyak terjadi di banyak kota-kota miskin (The World Bank, 2008).
Sesungguhnya
kejahatan adalah suatu hal yang normal di dalam masyarakat. Artinya, masyarakat
tidak akan mungkin dapat terlepas dari tindak kejahatan karena kejahatan itu
sendiri terus berkembang sesuai dengan kedinamisan masyarakat (Wolfgang, Savizt
dan Johson, 1970). Hal ini dapat dibahami bahwa kecenderungan manusia untuk
terus mencari sesuatu yang baru untuk mencegah masalah yang terjadi sebelumnya,
atau untuk mencegah suatu masalah sebelum itu terjadi. Dalam menghadapi
kejahatan, manusia meningkatkan suatu sistem pengamanan, seharusnya. Namun
demikian, pelaku kejahatan juga akan terus belajar dan mengembangkan teknik dan
modus agar dapat melumpuhkan sistem pengamanan yang ada.
Kejahatan
yang terjadi di Indonesia diketahui disumbangkan hingga 80 % oleh wilayah
perkotaan sehingga merupakan tugas bagi negara-pemerintah (institusi
keamanan) yakni POLRI dan juga masyarakat perkotaan itu sendiri untuk memerangi
kejahatan demi mendapatkan tempat yang lebih baik untuk berkehidupan.
Berdasarkan pemaparan Kapolri, Jendral Polisi Tito Karnavian mengatakan jumlah
kejahatan tahun 2017 menurun 23 persen dibanding tahun sebelumnya. Polri
mengategorikan kasus kejahatan menjadi empat golongan, yakni kejahatan
konvensional, transnasional, kekayaan negara, dan implikasi kontijensi dan
jumlah kejahatan pada 2017 berada di angka 291.748 kasus dimana jumlah ini
menurun ketimbang tahun sebelumnya yakni 380.826 kasus. Walaupun mengalami
penurunan yang cukup baik tetapi untuk pelaksanaan penurunan jumlah tindak
kejahatan di Indonesia oleh pihak Polisi memerlukan usaha yang cukup besar dan
kerjasama antar polisi dan masyarakat. Namun ekspetasi dan realitas yang
diharapkan sungguh berbeda dikarenakan kurangnya partisipasi dan kerjasama
masyarakat dalam membantu fungsi polisi dalam usaha menurunkan angka
kriminalitas perkotaan. Atas uraian diatas maka hal ini sangat menarik
untuk menguraikan problematika aspek hukum yuridis dan kriminologis mengenai
hambatan bermitra dengan masyarakat dalam Mengatasi Kriminalitas Perkotaan.
PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Masyarakat
Perkotaan
Masyarakat
perkotaan sering disebut juga urban community, adalah masyarakat yang tidak
tertentu jumlah penduduknya. Pengertian kota sendiri adalah suatu himpunan
penduduk masalah yang tidak agraris, yang bertempat tinggal di dalam dan di
sekitar suatu kegiatan ekonomi, pemerintah, kesenian, ilmu pengetahuan, dan
sebagainya. Kota merupakan suatu daerah yang memiliki ciri-ciri khusus yang
dapat membedakannya dengan daerah desa , seperti pemusatan jumlah penduduk ,
pusat pemerintahan dan sarana dan prasarana penunjang aktivitas manusia yang
relatif lebih lengkap di bandingkan dengan daerah desa. Secara umum kota
adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam
bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain.
Tingkah
laku masyarakat perkotaan bergerak sangat maju yang mempunyai sifat kreatif,
radikal dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai
tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya
kehidupan kota lebih cepat menerima yang baru atau membuang sesuatu yang lama,
lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan
kebiasaan-kebiasaan baru. Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat
memberikan sesuatu perasaan harga diri yang lebih tinggi, jauh berbeda dengan
seni budaya dalam masyarakat desa yang bersifat statis. Derajat kehidupan
masyarakt kota beragam dengan corak sendiri-sendiri. Perwatakannya cenderung
pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoisme dan pandangan
hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi
religi, yang mana menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan
amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.
2. Identifikasi Kriminalitas Masyarakat
Perkotaan
Dalam
mencari sebab musabab perkembangan kriminalitas di daerah perkotaan perlu
diperhatikan adanya kenisbian faktor kriminogen di berbagai macam kota. Faktor
kriminogen, fenomena tertentu, di kota tertentu, tidak selalu merupakan faktor
kriminogen di kota yang lain. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk, taman-taman yang luas, jumlah tenaga kepolisian, banyaknya tempat
yang gelap/kurang penerangan lampu, dan sebagainya.Faktor-faktor fenomena yang
berhubungan dengan kesempatan terjadinya kriminalitas merupakan yang dapat
berupa persiapan, pembiaran, pendorong atau pendukung adanya suatu tindakan
kriminal yang mempunyai perwujudan yang bermacam-macam. Masalah ini antara lain
mempunyai aspek-aspek sosial, ekonomi, yuridis, religius dan politis.
Kriminalitas
tiap kota berbeda –beda tingkat kerawanannya dan jenis-jenis tindak pidana yang
dilakukan hal ini bergantung dengan adat atau kesibukan rutinitas masyarakat,
ketidak acuhan antar sesama dan yang paling mempengaruhi adalah factor
pendidikan yang rendah. Kesenjangan keserataan tingkat pendidikan di perkotaan
yang mengikuti modrenisasi/ globalisasi sangat terlihat jelas sehingga menjadi
cikal bakal ketidakmampuan yang berujung kriminalitas. Contohnya Tindakan
kejahatan pencurian merupakan salah satu kejahatan yang sering dilakukan akibat
dari rendahnya pendidikan tersebut, terutama pendidikan formal.Pada umumnya
mereka tidak mampu berfikir panjang, sehingga secara spekulatif mereka
tidakakan segan-segan melakukan kejahatan pencurian.Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ada kecenderungan orang yang berpendidikan rendah lebih mudah
terdorong untuk melakukan kejahatan dalam setiap upaya memenuhi
kebutuhan/kepentingannya. Hari Saturodji yang dikutip oleh AbdulSyani dalam
bukunya Sosiologi Kriminalitas (1989) yang menyatakan bahwa: “Faktor-faktor
yang mempengaruhi kejahatan ada dua yaitu faktor dari luar diri individu dan
faktor dari dalam diri individu.Faktor dari dalam diri individu ini termasuk
didalamnya pendidikan individu, Sedangkan Faktor dari luar diri termasuk di
dalamnya lingkungan tempat tinggal dan ekonominya, karena hal ini mempengaruhi
tingkah laku terutama intelegensinya.”
Tak
hanya itu, permasalahan kriminalitas masyarakat kota umumnya telah
ditanggulangi oleh pihak Kepolisian tetapi factor sikap dan ketidakacuhan antar
masyarakat yang membuat sulitnya pihak lembaga keamanan untuk mempertahankan
situasi kondisi serta pelayanan pengamanan yang diinginkan ataupun yang keadaan
aman yang sudah dibangun sebelumnya. Ada juga masyarakat yang tak mau melaporkan
setiap tindak criminal yang terjadi pada pihak yang berwajib sehingga para
pelaku kriminalitas di perkotaan merasa mendapat lampu hijau untuk criminal di
tempat tersebut. Dapat diambil sampel pada suatu kota, contohnya Kota Surabaya
yang dilansir terdapat 879 kriminalitas tiap bulannya tetapi pihak kepolisian
hanya mendapat sekitar 460 laporan polisi tiap bulannya yakni hanya kisaran 65
% laporan polisi diselesaikan.
3. Kerjasama
Polisi Menanggulangi Masalah Kriminalitas Perkotaan
a.
Dengan TNI
Kondisi
gangguan Kamtibmas dan Kamdagri didaerah dikaitkan dengan keterbatasan dari
Kesatuan, mengharuskan untuk meminta bantuan baik dari kesatuan atas maupun
kesatuan samping yaitu unsur TNI. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
optimal dikarenakan masih terkendala oleh hal sebagai berikut :
1)
Belum adanya SOP bersama dalam langkah pencegahan kejahatan .
2)
Komunikasi tersumbat antar aparat TNI dengan Polri; lemahnya komunikasi
antara aparat tersebut menyebabkan lemahnya pencegahan kejahatan.
b.
Dengan Pemda
Kerjasama
dengan Pemda belum dirasakan optimal hal tersebut dikarenakan belum Pemda belum
sepenuhnya dapat memberikan dukungan anggaran yang merupakan salah satu unsur
utama dalam pencegahan kejahatan / menyangkut masalah kamtibmas. Karena
kebanyakan pejabat Pemda memiliki pemahaman bahwa masalah Kamtibmas adalah
urusan kepolisian. Kemudian Polri belum sepenuhnya dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan terkait dengan pemeliharaan kamtibmas.
c.
Dengan Masyarakat
Untuk
melihat bagaimana kondisi kerjasama dengan masyarakat dalam pencegahan
kejahatan, sebagai contoh dapat dilihat dari data Pokdar (Kelompok Sadar)
Kamtibmas di Polres Metro Jakarta Barat yang masih aktif yaitu 2.960 orang,
sedangkan di Polres Bogor data Pokdar Kamtibmas yang masih aktif 150 orang.
Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :
1) Melaporkan situasi Kamtibmas di
wilayah masing-masing baik rutin maupun insidentil.
2) Bersama anggota
Bhabinkamtibmas mengidentifikasi masalah yang ada dilingkungan masing-masing.
3)
Menganalisa dan melakukan langkah-langkah pemecahan
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk maka di Polres
Metro Jakarta Barat hanya 0,10% dari jumlah penduduk 2,8 juta dan di Polres
Bogor hanya 0,003% saja dari jumlah penduduk sebanyak 4,4 juta. Dengan melihat
jumlah Pokdar tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kerjasama yang
dilakukan dengan masyarakat masih belum optimal, hal tersebut dikarenakan
minimnya partisipasi masyarakat untuk tergabung kedalam Pokdar Kamtibmas.
4. Kendala Kemitraan Polisi Dalam
Mengatasi Kriminalitas Perkotaan
Dalam
menanggulangi sebuah kejahatan yang terjadi didalam masyarakat tidaklah mudah
selain banyak faktor-faktor penyebab kejahtan itu terjadi. Kendala dalam
organisasi Polisi dalam membina kemitraan antar masyarakat dan polisi
menangulangi kriminalitas perkotaan yakni :
a. Ketidak percayaan
masyarakat kepada anggota Polisi dengan minset negatif terhadap Polisi,
contohnya:
Masyarakat
menganggap Tugas-tugas yang dilakukan Polisi dianggap semuanya rahasia
sehingga kurang transparan dan cenderung eksklusif (Memisahkan atau ada jarak
dengan masyarakat ).
Menganggap
tugas polisi yang utama adalah penegakan hukum atau menangkap penjahat,
sehingga tugas-tugas preventif atau preemtif kepolisian kurang populer diantara
para petugas polisi (Orientasi para anggotanya belum sepenuhnya pada orientasi
kerja dan orientasi gaji tetapi pada jabatan atau posisi tertentu yang dianggap
basah)
b. Sikap ketidakacuhan
dan mementingkan kepentingan sendiri atau rutinitas pribadi yang sudah mendarah
daging di masyarakat perkotaan sehingga untuk mengungkapkan pelaku kriminalitas
sangat susah karena kurangnya saksi dari masyarakat yang berkorban waktu untuk
memberikan keterangan atau tenaga untuk bekerjasama dengan Polri
c. Anggapan masyarakat
mengenai suatu tindak criminal tersebut adalah hal biasa di daerah perkotaan
dan pemikiran ketidakmungkinan atau tidak optimis untuk ikut berkerjasama
menangulangi masalah kriminalitas di Perkotaan.
d. Kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai program-program polisi dan pemerintah dalam aksi anti
kriminalitas
5. Upaya Polri Dalam Membangun Kerjasama
Masyarakat Perkotaan untuk Menanggulangi Kriminalitas Kota
a.
Minimnya Tingkat Kriminalitas dan Gangguan Kamtibmas
Keberhasilan strategi
pencegahan kejahatan Polri akan ditandai dengan menurunnya kasus-kasus
kejahatan dan gangguan kamtibmas ditengah masyarakat. Kondisi ini akan ditandai
dengan menurun atau minimnya angka kriminalitas yang tercatat di kantor
kepolisian setempat. Hal ini juga menandakan adanya peningkatan kesadaran hukum
dan partisipasi masyarakat untuk melaporkan berbagai kasus kejahatan dan
gangguan kamtibmas kepada aparat kepolisian setempat.
b.
Minimnya Keluhan Masyarakat
Indikator keberhasilan
strategi pencegahan kejahatan Polri juga ditandai dengan semakin menurun atau
minimnya tingkat keluhan masyarakat terhadap pelayanan kamtibmas Polri. Kondisi
ini ditandai dengan sedikit atau tidak adanya anggota masyarakat yang
menyampaikan keluhan atas berbagai pelayanan kamtibmas yang diberikan Polri.
Hal ini dapat diketahui melalui survey pelayanan publik Polri, laporan yang
diterima Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Ombudsman atau berbagai
informasi yang ada di media massa.
c.
Meningkatnya Kepuasan Masyarakat
Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri juga
ditandai dengan meningkatnya kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri.
Meningkatnya kepuasan masyarakat tersebut dapat diketahui dari meningkatnya
indeks kepuasan masyarakat dari hasil survey pelayanan Polri. Meningkatnya
kepuasan masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya dukungan masyarakat
atas Polri dan minimnya tingkat keluhan masyarakat atas kinerja pelayanan
Polri.
d.
Meningkatnya Partisipasi Masyarakat
Menurun atau minimnya tingkat kejahatan dan gangguan
kamtibmas juga menunjukkan bahwa masyarakan ikut berperan serta dalam
memelihara situasi kamtibmas melalui berbagai laporan atau pengaduan atas
berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat ikut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan
dengan senantiasa memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas)
dilingkungan sosialnya. Meningkatnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
harkamtibmas juga menunjukkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat atas
kinerja pelayanan Polri dan keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan
masyarakat dan stakeholders.
e.
Kebijakan dan Strategi Pencegahan Kejahatan
Salah satu prasarat berjalannya proses pembangunan nasional adalah
terpeliharanya situasi keamanan dalam negeri (kamdagri) yang kondusif. Untuk
terselenggaranya pembangunan nasional tersebut, Polri sebagai alat negara
dibidang keamanan memiliki peran dan tanggungjawab memelihara kamdagri. Hal ini
sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 5, “Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.” Dalam rangka pelaksanaan tugas dibidang keamanan dalam
negeri tersebut, selain menggunakan pendekatan represif (penindakan), Polri
juga harus menekankan pada pendekatan preventif dan pre-emtif (pencegahan)
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 14 Ayat (1), yakni membina masyarakat
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta
ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan terhadap
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Salah satu bentuk pendekatan pre-emtif dalam pencegahan
kejahatan (crime prevention) dilakukan melalui pola kemitraan Polri dengan
masyarakat dan pihak-pihak terkait (stakeholders). Kemitraan Polri dengan
masyarakat dan stakeholders dibutuhkan karena masyarakat setempat
yang paling mengetahui dan merasakan berbagai persoalan kamtibmas
dilingkungannya. Untuk itu, perlu adanya sinergi antara Polri dengan masyarakat
dan stakeholders dalam memecahkan akar persoalan kejahatan.
Keberhasilan sinergi Polri dengan masyarakat dan stakeholders dalam
memecahkan persoalan kamtibmas akan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman
masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, sehingga proses
pembangunan nasional dapat terselenggara dengan baik dan lancar.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Daerah
perkotaan kriminalitas berkembang terus sejalan dengan bertambahnya penduduk,
pembangunan, modernisasi dan urbanisasi. Sehingga dikatakan bahwa perkembangan
kota selalu disertai dengan perkembangan kualitas dan kuantitas kriminalitas.
Akibatnya perkembangan keadaan ini menimbulkan keresahan masyarakat dan
pemerintah di kota tersebut. Sebagai suatu kenyataan sosial masalah
kriminalitas ini tidak dapat dihindari dan memang selalu ada. Sehingga wajar
bila menimbulkan keresahan, karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan
terhadap kesejahteraan penduduk daerah perkotaan serta lingkungannya.
Sehubungan dengan keadaan ini penduduk dan pemerintah dan apparat keamanan
contohnya POLRI membuat reaksi untuk memberantas masalah kriminalitas yakni
dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menganggulamgi maslaah
kriminKEMITRAAN KEPOLISIAN DI Malitas yang kerap terjadi.
Namun
dalam pelaksanaannya ekspetasi dan realita sangan berbanding jauh dikarenakan
factor masyarakat perkotaan yang sulit untuk bekerjasama dengan Polri dalam
menanggulangi permasalahan kriminalitas di perkotaan. Siikap, gobalisasi serta
rutinitas masyarakat perkotaan merupakan factor yang menunjang terhambatnya
kegiatan kemitraan penanggulangan kriminalitas di Perkotaan.
2. Saran
1.
Diharapkan pihak polisi lebih menumbuhkan minat dan aktifitas persuasive
untuk menumbuh kembangkan keinginikutsertaan warga dalam
mengatasi Kriminalitas di Perkotaan.
2.
Diharapkan masyarakat untuk menyadari pentingnya membangun kemitraan dengan
pemerintah dan apparat keamanan yakni Polri dalam menangani permasalahan
Kriminalitas di Perkotaan agar terwujudnya situasi, kamtibmas dan keamanan di
lingkungan kehidupan masyarakat Kota.