PENDAHULUAN
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau
diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang
melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang
kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 – 358.
Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama
kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun
2004.
Keutuhan dan kerukunan
rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap
orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini
perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Mewujudkan
keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri
setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan Untuk
rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol,
yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah
tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup banyak korban dari
berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan
disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh
istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan. Untuk mencegah,
melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan
masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan
bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah
tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum sangat
diperlukan, khususnya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut
diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi
dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan
tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun
secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan
nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain
yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
1. UU 1/1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya.
2. UU 8/1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. UU 1/1974 tentang
Perkawinan.
4. UU 7/1984 tentang 28
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women).
5. UU 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal
pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga
mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar
mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang
sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah
saatnya dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak
kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada
masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga
merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
1. Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah
Tangga
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan
atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih
anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis,
penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi
perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang
dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap
Perempuan dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin
yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual,
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat
dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama
digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka.
Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri
di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya,
dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi
Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai
unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
- .Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
- Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
- Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
- Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
Dalam konteks Indonesia, kondisi
dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil
hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi
kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri
sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban.
Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal
31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan.
Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana
yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau
dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351
s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut
dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja
cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan
tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga
yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah
tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Adapun definisi kekerasan dalam rumah
tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu: “Kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
2. Gejala-Gejala Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan
adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat
lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur,
mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan
bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di
atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah
merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat
dipastikan.
3. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Ratna Batara Munti
menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi
dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :
a. Kekerasan fisik,
langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina
(kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya
berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga
dan lain-lain, serta berlaku kasar.
b. Kekerasan psikologis,
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan Seksual,
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
d. Kekerasan ekonomi,
berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara
sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak
memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
e. Penelantaran rumah
tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut
Gabungan dari berbagai
kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun
ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah
tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan
yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat
yang dapat merugikan pasangan.
4. Faktor Penyebab Terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor
terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai
berikut:
a. Adanya hubungan
kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami
lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga
dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang
terhadap istrinya.
b. Ketergantungan
ekonomi.
Faktor ketergantungan
istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua
keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal
ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
c. Kekerasan sebagai alat
untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan
faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya
kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan
kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan
perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka
harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
Jika di muka telah
diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah
ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain,
perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan
kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan
persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri
juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
Terkadang pula suami
melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa
melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa
terjadi pada pasangan yang :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki
pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3. Masih serba terbatas
dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini
biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain
yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,
memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
d. Kesempatan yang kurang
bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena
bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan
kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena
posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang
pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia
alami.
5. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas
terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya
dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam
rumah tangga yang menimpa istri adalah:
a. Kekerasan fisik
langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit
fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
b. Kekerasan seksual
dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri
menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan
seks.
c. Kekerasan psikologis
dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi
tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
d. Kekerasan ekonomi
mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan
istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada
anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung
dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada
ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di
tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena
kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah
pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti
gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan
tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti
sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering
meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka
melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah
tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia
sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah
hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini
mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
- Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
- Tidak perlu menghormati perempuan.
- Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
- Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak
secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas,
masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus
ditanggung anak seperti:
- Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
- Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
- Merasa disia-siakan oleh orang tua.
Kebanyakan anak yang
tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang
kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% – 80% laki-laki yang memukuli istrinya
atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering
melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan
mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
6. Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga
a. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses
penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan
itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya
adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban. Oleh karena itu, dalam
hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan
yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya
kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.
Dalam kaitannya dengan
kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik
yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan
tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan
istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa
sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang
sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara
suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan
kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
Dari penelusuran
berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan
kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun
karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya
terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya,
penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut
dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja
melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP
disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
Kealpaan baru mungkin
tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan
bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan
(culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi:
“Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dengan demikian
kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan
dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik
terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai
pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa
penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan
mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang
ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga
bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri,
dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga
adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan
pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk
diterapkan.
Jika disimak lebih
lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak
penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir
kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana
sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
b. Menurut UU No. 23
Tahun 2004
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar
dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Bab I berisi ketentuan
umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1,
serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan
anak (pasal 2).
2. Bab II berisi asas dan
tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
- Penghormatan hak asasi
manusia
- Keadilan dan
kesetaraan jender
- Anti diskriminasi, dan
- Perlindungan korban
Adapun tujuannya
adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
- Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
- Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
- Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
- Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
3. Bab III berisi
larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya,
baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah
tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
4. Bab IV berisi hak-hak
korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
- Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
- Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
- Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
- Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan. Pelayanan bimbingan rohani.
5. Bab V berisi kewajiban
pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
(pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang
harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang
meliputi:
A. Merumuskan kebijakan
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
B. Menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga
D. Menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga
serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Adapun yang dimaksud
dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu
bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
a. Mencegah
berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan
perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan
darurat, dan
d. Membantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
6. Bab VI berisi
perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam
pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam
pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping
sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan
sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana
terdapat dalam pasal 25.
7. Bab VII berisi upaya
pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
A. Tenaga kesehatan yang
wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
B. Pekerja sosial dan
relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk
menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
8. Bab VIII berisi
ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk
kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
b. Jika kekerasan fisik
tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling
banyak Rp. 45.000.000,-
d. Jika kekerasan
tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan
pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
9. Bab IX berisi
Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup
dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).
7. Solusi Untuk Mengatasi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan
pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup
sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan
sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah
kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak
menyalahkan korban melalui media.
Sedangkan untuk pelaku
dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk
memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh
Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan
kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi
kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima
dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi.
Sedangkan bagi istri
yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk
berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang
menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami
dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing
dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan
perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa
saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap
asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu
menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku
kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap
empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari
orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan
mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan
demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi
untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada
beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
a. Membangun kesadaran
bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan
pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
b. Sosialiasasi pada
masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat
diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat
pertama – tama dan terutama membutuhkan.
c. Adanya konsensus bahwa
kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
d. Mengkampanyekan
penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan
sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
e. Peranan Media massa.
Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang
sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah
tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT
bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu
pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat
dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
f. Mendampingi korban
dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam
shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan
terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Kesimpulan
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan
permasalahan yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus
dilakukan pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran
agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di
rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini. Ibu
bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk
saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi
dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku
utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama, pendidik,
sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus
menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat
untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT. Supaya
terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan
partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah
“Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus
menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,
perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
Saran
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan
pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup
sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan
sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah
kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak
menyalahkan korban melalui media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang mau komen posting gw :))